Gerald H. Tanjung

Gerald H. Tanjung

Angkatan 2017

Surga, Cinta, Dunia

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp

Rekonstruksi pemahaman orang Kristen tentang surga dengan gagasan Jonathan Edward tentang surga dalam rangka melatih kepekaan orang Kristen terhadap Persoalan Ekologis sebagai Wujud Misi.

Abstrak

Surga kerap dipandang sebagai tujuan akhir  kehidupan manusia  setelah kematian. Ironisnya, pandangan orang Kristen tentang surga cenderung antroposentris. Pemahaman ini, pada gilirannya, memengaruhi kepekaan manusia terhadap lingkungan hidup. Menurut saya, pemahaman ini mesti direkonstruksi. Gagasan Jonathan Edward tentang dunia yang penuh cinta adalah surga akan memberi makna baru terhadap konsep orang Kristen tentang surga. Dengan pemahaman yang baru, Orang Kristen semakin meningkatkan kepekaan-nya terhadap lingkungan sebagai wujud misi.

Key words: Jonathan Edward, Surga, Dunia, Cinta, Ekologi

Pengantar

              Manusia hingga saat ini hanya memandang surga sebagai suatu tempat di masa depan, suatu tempat yang diharap-harapkan, suatu tempat setelah kematian dan abadi. Dengan pandangan seperti ini manusia sering kali berlomba-lomba untuk mencapai tempat tersebut hingga melupakan bumi ini tempat di mana mereka tinggal. Manusia dalam memandang segala sesuatunya sering kali terlalu antroposentris. Pemahaman antroposentris menyebabkan manusia menjadi egois tanpa memperhatikan ciptaan lain karena menganggap dirinya sebagai pusat segala ciptaan. Manusia kemudian memperlakukan ciptaan lainnya seperti tumbuhan dan hewan dengan sewenang-wenang. Manusia menjadi terlalu konsumtif dan eksploitatif terhadap lingkungan hidup. Mengutip dari laman Kompas, “Prof. Emil Salim berpendapat, sepuluh kerusakan bumi akibat bergesernya gaya hidup manusia dari needs ke wants, yakni dari hidup berdasarkan kebutuhan menjadi hidup berdasarkan keinginan.”[1] Kementrian Kesehatan Republik Indonesia dalam lamannya menyampaikan bahwa kerusakan lingkungan telah memasuki tahap yang serius dan salah satu faktor penyebabnya adalah manusia.

Kerusakan lingkungan saat ini sudah memasuki tahap darurat, selain faktor perubahan iklim Faktor manusia juga turut menyumbang dalam kerusakan lingkungan. Kerusakan lingkungan yang terjadi dikarenakan eksplorasi sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhan manusia tanpa memperhatikan kelestarian lingkungan. Kerusakan lingkungan ini bisa di sebabkan oleh faktor alam ataupun oleh faktor manusia seperti pencemaran lingkungan akibat limbah sehingga akan merusak ekosistem lingkungan[2]

Kita dapat melihat manusia berperan menyebabkan kerusakan lingkungan, pemahaman sebagian besar orang Kristen di Indonesia yang antropsenteris terkait surga yang hanya dapat dirasakan manusia setelah kematian dan bukanlah suatu keadaan untuk diwujudkan di dunia menjadi salah satu faktor yang menyebabkan kurangnya kepekaan orang Kristen terhadap masalah lingkungan dan ciptaan lainnya seperti binatang dan tumbuh-tumbuhan. Oleh karena itu, di dalam makalah ini mengusung gagasan Jonathan Edward tentang surga yang diharapkan dapat menggugah kepekaan dan kesadaran manusia akan kerusakan lingkungan hidup yang telah terjadi dan mewujudkan surga yang hadir bagi seluruh ciptaan.

Selayang Pandang tentang Jonathan Edwards

Jonathan Edwards adalah seorang pendeta, filsuf Kristen, misionaris, dan rektor di salah satu universitas di Amerika. Ia juga seorang puritan dan penggerak suatu gerakan rohani yang dikenal dengan “Great Awakening” serta pelopor zaman penyebaran misionaris Protestan pada abad ke-19.[3] Banyak akademisi, menyejajarkannya dengan teolog-teolog seperti Agustinus, Thomas Aquinas, Martin Luther, dan Calvin.[4]

Ia lahir di Connecticut pada tahun 1703 dan menempuh pendidikan tinggi di Yale serta melayani sebagai pembimbing sebelum menjadi pendeta di Northampton, Massachusetts. Di sana ia mendedikasikan dirinya menjadi seorang pembangun rohani. Ia hidup di sebuah masa di mana Amerika masih menjadi koloni Inggris dan Nenek moyang Edwards berasal dari Inggris. Nenek moyangnya pada saat itu adalah bagian dari orang-orang Puritan yang mengalami persekusi oleh Uskup Agung Laud dan banyak dari mereka lari ke Amerika.[5] Ia menolak doktrin pre-destinasi yang mengatakan, bahwa Tuhan Mahakuasa untuk memilih mereka yang akan selamat tetapi menolak yang lain untuk berada di penghukuman yang kekal.[6]

Edwards juga berkontribusi dalam berbagai permasalahan sosial saat itu dengan menghasilkan beberapa tulisan dan juga ikut dalam memberikan pandangan-pandangan politik. Edward dalam kehidupan spiritualnya dipengaruhi  semangat pietisme. Banyak pembaca dari karya Edwards hari ini, sarjana dan non-akademisi, sengaja membaca karya Edwards untuk melihat apa yang dapat mereka lakukan untuk kehidupan pribadi dan gereja mereka. Edwards memiliki banyak hal untuk ditawarkan kepada orang-orang beriman hari ini. Edwards memiliki pandangan bahwa tujuan Tuhan  menciptakan dan menebus dunia adalah kemuliaan Allah sendiri, komunikasi dari esensi Allah. Hingga saat ini, Edward memiliki pengaruh dan karyanya menjadi sumber dari banyak studi seperti kebangunan rohani, studi misi, filsafat, perdebatan teologis, etika, dan lainnya.[7]

Surga adalah Dunia Penuh Cinta

Surga menjadi bahan yang menarik untuk diperbincangkan karena keberadaanya pun masih banyak diperdebatkan. Jika berbicara surga, kebanyakan orang akan memikirkan mengenai kehidupan setelah kematian dan bersifat antroposentris. Manusia seringkali berpikir hanya mereka yang dapat merasakan surga. Surga menurut pengertian Kristen adalah kenyataan hidup sempurna yang tidak mungkin dipenuhi di muka bumi sehingga menjadi tujuan dari segala gerak hidup di bumi.[8]

Alkitab secara eksplisit tidak menyampaikan narasi-narasi yang membahas mengenai surga untuk ciptaan lain. Dalam Alkitab terdapat dua gambaran besar mengenai surga yaitu Kota Yerusalem baru dan Taman Eden. Taman Eden juga digambarkan dengan bentuk yang berbeda dalam Yehezkiel 28:13 yaitu “Taman Allah” atau “Gan-Elohim”dan dalam Yesaya 51:3 “taman Tuhan” atau “Gan Adonay”. Taman dijadikan sebagai simbol harmoni dan kemurnian, tempat untuk kedamaian, bersandar, dan kesuburan. Dalam taman itu umat manusia tinggal dalam damai dengan alam semesta dan berjalan dengan Tuhan.[9]

Manusia sebagai makhluk yang terbatas untuk memahami suatu yang Ilahi dan tidak terbatas. Suatu yang bersifat Ilahi seperti surga sulit untuk dijelaskan dengan kata-kata manusia yang terbatas sehingga manusia menggunakan analogi-analogi yang lebih sederhana untuk menjelaskannya. Terdapat pendapat bahwa dengan sudut pandang kasih, setiap makhluk ciptaan mampu merasakan kehadiran Allah atau pengalaman surga. Namun, banyak yang masih berpikir bahwa binatang dan tumbuhan tidak dapat mengalami surga, pendapat ini juga disampaikan oleh Thomas Aquinas dengan alasan bahwa binatang tidak mempunyai kemampuan berpikir dengan pandangan yang indah.[10] Memang konsep surga hanya dimiliki oleh manusia karena manusia dapat berpikir lebih kompleks dari binatang. Namun, tetap ada keyakinan bahwa setiap ciptaan telah mengalami surga dalam kehidupan mereka dan saya meyakini hal tersebut.

Dengan perkembangan zaman, tentu para pemikir telah menafsirkan kembali konsep mengenai surga. Beatific vision mengenai surga tentang bagaimana kesatuan ciptaan dengan Allah dan di mana seseorang dapat merasakan penuh dengan kehadiran Allah adalah salah satu konsep yang menarik untuk didalami.[11] Meski terkesan sangat utopis, saya yakin konsep ini dapat mendorong manusia untuk bersahabat dengan ciptaan lainnya.

Edward mengajak kita untuk membayangkan sebuah dunia yang di mana di dunia ini cinta mendominasi. Hubungan cinta antara Allah Bapa dan Yesus Kristus Sang Anak dan Roh Kudus mengisi surga. Edward menggambarkannya bagaikan sebuah air mancur yang mengalirkan cinta yang tak terbatas dan Allah sebagai pusatnya. Di surga, cinta dan kesatuan kekuasaan tertinggi tanpa tantangan dan halangan. Di surga, cinta akan menjadi sempurna, murni, dan suci. Cinta juga akan menjadi tak terbalas dan tidak akan ada kekecewaan, tidak ada kehancuran harapan dan tidak ada hasrat yang tidak terpenuhi. Sebaliknya, neraka adalah tempat dimana tidak ada kebaikan atau Tuhan.[12] 

Edward menawarkan  sejumlah masukan tentang menunggu surga dan pemenuhan janji Allah kepada dunia. Ia mengatakan “Jika surga adalah dunia penuh cinta maka jalan menuju surga adalah jalan dalam cinta dan jika engkau akan berjalan dalam dunia penuh cinta maka harus menjalani kehidupan dalam cinta. Jalan menuju surga memang haruslah cinta dan cinta dan harmoni haruslah menandai manusia terus menerus”.[13] Melalui perkataan ini Edward menujukan bahwa manusia dan cinta tidak dapat dipisahkan dan dalam mewujudkan surga, manusia harus menjalani kehidupan dalam cinta.

              Realitas yang ada di dunia ini sayangnya tidak sesuai dengan apa yang Edwards gambarkan. keegoisan  membuat manusia tidak peduli terhadap sesama ciptaan sehingga ekspolitasi alam, illegal logging, pemburuan satwa langka marak terjadi. Masyarakat pun seakan tutup mata terhadap apa yang terjadi. Rekonsiliasi antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, manusia dengan lingkungan hidup perlu dilakukan rekonsiliasi dilakukan di dalam Kristus yang di dalamnya seluruh ciptaan menetap bersama. Sebagai persekutuan tak berakhir yang saling mencintai dalam ke Allah Tritunggal rekonsiliasi perlu dilakukan demi mencapai kehidupan yang abadi dan penuh cinta selayaknya  pandangan Edwards “Dunia penuh cinta”. Kehidupan yang abadi memiliki makna partisipasi Allah yang tidak pernah berakhir dalam masyarakat yang terberkati.[14] Jika hidup dalam cinta, manusia akan menemukan anugerah Allah mendapatinya dalam setiap arah kehidupan dan manusia akan menikmati lebih dulu kenikmatan dan kebahagiaan surgawi.[15] Keindahan Allah yang adalah cinta hadir dalam bentuk konkret yang dapat ditemukan sehari-hari. Setiap hal yang diciptakan-Nya adalah bukti cinta Allah yang hadir dalam tanaman, hewan-hewan, bulan, matahari, dan manusia.

Ekologi dan Ekosistem

Manusia tidak sendirian hidup di bumi, Allah telah menciptakan makhluk-makhluk lainnya seperti tumbuhan, hewan, dan jasad renik. Makhluk-makhluk tersebut bukan hanya diciptakan sebagai kawan hidup melainkan hidup manusia itu terkait erat pada mereka karena tanpa makhluk-makhluk lain, manusia tidak bisa hidup. Manusia, tumbuhan, hewan dan jasad renik tumbuh bersama dalam suatu ruang tertentu. Ruang di mana suatu makhluk hidup bersama makhluk hidup atau tidak hidup lain disebut lingkugan hidup makhluk tersebut.[16]

Soemarwoto dalam Ekologi, Lingkungan Hidup dan Perkembangan, inti permasalahan lingkungan hidup adalah hubungan mahkluk hidup khususnya manusia dengan lingkungan hidupnya. Ekologi berarti ilmu yang mempelajari tentang hubungan timbal balik makhluk hidup dengan lingkungan hidupnya. Haeckel adalah seorang ahli ilmu hayati yang memperkenalkan istilah ini pada pertengahan dasawarsa 1860-an. Secara etimologis, kata ekologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu οἶκος  oikos yang memiliki arti rumah dan λόγος logos yang berarti ilmu. Dengan demikian,ekologi berarti ilmu tentang makhluk hidup dalam rumahnya atau dapat diartikan sebagai ilmu tentang rumah tangga makhluk hidup.[17]

Jika dilihat dari sudut pandang kepentingan manusia,  pengelolaan lingkungan cenderung antroposentris . Ketika memperhatikan hewan, tumbuhan, dan unsur-unsur tidak hidup lain, manusia sebenarnya sedang memperhatikan dirinya atau kebutuhannya. Ekologi manusia adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara manusia dengan lingkungan hidupnya. Manusia sebagai rekan sekerja Allah mempunyai hak khusus untuk mengatur kelangsugan hidup suatu jenis tumbuhan atau hewan dengan mengaitkannya dengan peran tumbuhan atau hewan itu dalam memenuhi kebutuhan hidup manusia, baik material sebagai bahan makanan maupun non materil seperti kebutuhan ilmiah dan estetika.[18]

Krisis Ekologi

              Bumi adalah “rumah“ dari kehidupan yang sangat besar, yakni terdapat kehidupan yang berkesinambungan. Tanpa tempat tinggal yang ramah dan memadai tidak ada satu makhluk pun yang dapat hidup. Tidak hanya manusia, semua bentuk kehidupan juga membutuhkan habitat yang sesuai dengannya.[19] Namun, seiring dengan menuanya bumi dan populasi manusia bertumbuh pesat, semakin banyak makhluk hidup yang kehilangan tempat tinggalnya yang ramah dan memadai. Hilangnya tempat tinggal makhluk hidup sebagian besar karena ulah manusia.

              Sebagai contoh, mengutip dari salah satu artikel Orangutan Foundation Intenational

Indonesia’s forests represent 10% of the world’s remaining tropical rainforests. By 2001 Indonesia had lost 99 million acres of forest during the previous 32 years, which is equivalent to the combined size of Germany and the Netherlands. The current rate of forest loss is accelerating. Indonesia is one of the five most species-diverse countries in the world, home to 12% of all mammal species, 16% of all reptile and amphibian species, and 17% of all bird species. It also contains 33% of insect species, 24% of fungi species, and 10% of higher plant species (OFI Website 2018).

              Indonesia yang menjadi rumah bagi banyak spesies hewan dan tumbuhan harus berjuang melawan pengerusakan lahan, pengalihan fungsi hutan menjadi perumahan warga atau pun kelapa sawit, penebangan liar, pemburuan liar, dan pembakaran hutan. Hutan adalah tempat tinggal berbagai spesies hewan dan tumbuhan liar dengan rusaknya hutan membuat mereka tidak merasa nyaman berada di rumah. Mereka kehilangan sumber makanan, kehilangan tempat yang nyaman untuk beristrahat bahkan hewan-hewan dapat kehilangan keluarganya karena menjadi korban pemburuan liar atau pun akibat pengerusakan hutan. Bahkan beberapa spesies hewan dan tumbuhan terancam punah.

              Masalah lingkungan yang terjadi tidak hanya rusaknya hutan, masih banyak masalah lingkungan seperti pemanasan global, hujan asam, polusi udara, menipisnya lapisan ozon, pencemaran air, dan perubahan iklim. Juga, limbah-limbah pabrik, polusi kendaraan bermotor, membuang sampah dengan sembarang, dll. Manusia haruslah menyadari bahwa kerusakan lingkungan yang terjadi tidak hanya mengancam keberadaannya namun juga mengancam keberadaan ciptaan lainnya.

Refleksi Misiologis

              Surga yang adalah dunia yang penuh cinta dinyatakan di mana setiap ciptaan merespons cinta Allah dengan berjalan di jalan yang penuh cinta. Keindahan Allah yang ditunjukan dalam cintaNya diwujudkan atau terserap di dalam dunia ini dan segala bentuk konkret yang dapat ditemukan sehari-hari, karena Cinta Allah adalah hal  yang sangat biasa terjadi dan ketika manusia merespons cinta Allah akan muncul tanggung jawab secara ekologis untuk menyalurkan cinta Allah terhadap seluruh ciptaan dan menjaga kelestarian lingkungan. Dalam sudut pandang kristiani tidak ada penurunan makna dari dunia yang sementara. Konsep ini tidak bisa dikatakan lebih buruk dari surga yang futuristic (Lee 2009, 124).[20]

       Tuhan menciptakan makhluk-makhluk cerdas serta alam semesta fisik. Tujuan dalam menciptakan makhluk cerdas adalah mereka dapat berpartisipasi dalam dan mempromosikan akhir (tujuan) Tuhan sendiri dalam penciptaan. Manusia yang disucikan mengetahui dan mencintai keindahan Tuhan, dan mempraktikkan keindahan itu dengan mencintai makhluk lain merupakan salah satu tujuan Tuhan. Kepenuhan internal Tuhan diulang dalam ruang dan waktu. Proses pengulangan kepenuhan Tuhan dalam ruang dan waktu akan menjadi proses yang kekal. Ini terjadi karena kepenuhan Tuhan tidak terbatas dan tidak bisa terulang sepenuhnya dalam ruang dan waktu dalam jangka waktu terbatas. Jadi, menurut Edwards, di eschaton (akhir sejarah yang kita kenal) dunia yang penuh dosa akan menghilang, tetapi sejarah itu sendiri akan berlanjut di “langit baru dan bumi yang baru”. Surga mencakup ruang dan waktu, dan juga manusia yang diwujudkan makhluk hidup. Proses Allah mengulang kepenuhan kekal dalam waktu dan ruang akan terus di surga tanpa pernah datang ke akhir temporal.[21]

              Mewujudkan surga tersebut merupakan bagian dari misi Kristen karena Allah memang telah mengajak manusia untuk berpartisipasi dalam karya cintaNya. Manusia tentu membutuhkan makhluk ciptaan lain dalam kehidupannya. Manusia tidak dapat hidup tanpa kehadiran mereka. Anggapan bahwa manusia adalah makhluk paling berkuasa adalah suatu pandangan yang salah karena manusia yang membutuhkan makhluk lain. Eksploitasi alam adalah bentuk keserakahan manusia yang menganggap bahwa pemenuhan identik dengan pemilikan benda-benda, sehingga penting bagi manusia untuk menghilangkan egonya dan mengubahnya ke dalam perasaan cinta untuk peduli kepada ciptaan lain.[22] Sebagai sebuah proses yang kekal, manusia terus ditantang untuk merespons cinta Allah dan mewujudkan surga yang hadir di bumi  ini.


[1] Kompas.com, “Bumi Semakin Rusak, Akibat Ulah Manusia,”

https://sains.kompas.com/read/2009/06/05/11081668/bumi.semakin.rusak.akibat.ulah.manusia. (Diakses, 11 Desember 2018)

[2] Kemenkes, “Kerusakan lingkungan sudah menjadi masalah yang serius,”

http://pusatkrisis.kemkes.go.id/kerusakan-lingkungan-sudah-menjadi-masalah-               yang-serius.(Diakses,11 Desember 2018)

[3] Britannica Website, “Jonathan Edwards’s biography,”

https://www.britannica.com/biography/Jonathan-Edwards.(Diakses 12 Desember 2018).

[4] Minkema, Kenneth P, Jonathan Edward’s life and career,” In Understanding Jonathan Edwards: an introduction to America’s theologian, edited by Gerald R. McDermott (Oxford: Oxford University Press 2009), 15

[5] Ibid, 16

[6] Britannica Website, “Jonathan Edwards’s biography,”

https://www.britannica.com/biography/Jonathan-Edwards.(Diakses 12 Desember 2018).

[7] Minkema, Kenneth P, Jonathan Edward’s life and career,” In Understanding Jonathan Edwards: an introduction to America’s theologian, edited by Gerald R. McDermott (Oxford: Oxford University Press 2009), 25

[8] The encyclopedia of religion, s.v. “Surga”.

[9] Alister E. McGrath,. A brief history of Heaven. (Malden: Blackwell Publishing, 2003), 41-43.

[10] Mary Beth Inghem, “The testimony of two witnesses: A response to Ask The Beast,” Theological studies 77 no. 2 (2016): 473.

[11] The encyclopedia of religion, s.v. “Heaven”.

[12] Harry S. Stout, “Edwards and Revival.” In Understanding Jonathan Edwards: an introduction to America’s theologian, edited by Gerald R. McDermott, (Oxford: Oxford University Press 2009), 43.

[13] Stephen J. Nichols, Heaven on Earth: Capturing Jonathan Edward’s Vision of Living in Between (Wheaton: Crossway books 2006), 35.

[14] Daniel L. Migliore, Faith Seeking Understanding (Grand Rapids: Wm. B. Eerdmans, 2014), 290.

[15] Nichols, Heaven on Earth, 43.

[16] Otto Soemarwoto, Ekologi, Lingkungan Hidup, dan Pembangunan, Cet-3, (Jakarta: Djambatan, 1987), 44.

[17] Ibid, 15.

[18] Ibid, 16

[19] Larry L. Rasmusse, Komunitas Bumi: Etika Bumi (Jakarta: Gunung Mulia, 2010), 155.

[20] Sang Hyun Lee, “Edwards and Beauty,” In Understanding Jonathan Edwards: an Introduction to America’s Theologian, edited by Gerald R. McDermott, (Oxford: Oxford University Press, 2009), 124.

[21] Ibid, 116.

[22]J Andrew Kirk, Apa itu misi. Cet-3 Terjemahan Pericles Katopo. Jakarta: Gunung Mulia. 2018, 158.

Stay Update with Us!