Charlanency B. Meyok

Charlanency B. Meyok

Angkatan 2016

Produksi Batu Bara: Untung atau Buntung?

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp

Abstrak

Produksi batu bara di Indonesia menyuguhkan sejumlah manfaat, namun bersamaan dengan itu terdapat pula segudang dampak yang berimbas pada kematian manusia dan kerusakan ekologi. Upaya yang harusnya dilakukan tentu adalah penyetopan penggunaan dan produksi batu bara. Namun tidak segampang membalikkan telapak tangan, nyatanya penyetopan pengunaan dan produksi batu bara menjadi hal yang sangat sulit untuk dilakukan. Perekonomian negara, sumber energi, sampai kepentingan politik menjadi realitas yang harus dihadapi untuk menghentikan penggunaan dan produksi batu bara. Artikel ini mencoba untuk memperlihatkan kompleksitas di tengah dilema untuk mendukung atau menghentikan penggunaan dan produksi batu bara.   

Key Words: Batu bara, PLTU, krisis ekologi, earth hour.

Pendahuluan

Batu bara merupakan salah satu bahan bakar fosil yang terbentuk atas endapan organik sisa-sisa tumbuhan selama beratus-ratus tahun. Unsur utama dari batu bara ialah karbon (C), Hidrogen (H), dan Oksigen (O2). Batu bara kini tidak hanya menjadi sebatas sebuah endapan organik dalam tanah, tetapi telah digunakan sebagai salah satu sumber listrik yang digunakan oleh berbagai negara, termasuk Indonesia.

Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki cadangan batu bara yang cukup banyak. Indonesia menyumbangkan kurang lebih 30 miliar ton cadangan batu bara atau sekitar 3.1%  dari 891 miliar ton total keseluruhan cadangan batu bara dunia.[1] Menurut data dari Kementrian Energi dan Sumber Daya Republik Indonesia per tahun 2019, melalui penelitian geologi terakhir, negara Indonesia memiliki cadangan batu bara sebanyak 26.2 miliar ton. Angka tersebut merupakan angkat yang cukup tinggi mengingat beberapa daerah di Indonesia memiliki kandungan batu bara yang cukup besar. Daerah-daerah tersebut antara lain, Kalimantan yang tercatat sebagai wilayah penyimpan cadangan terbesar, yaitu sebanyak 14.9 miliar ton, diikuti oleh Sumatera sebanyak 11.2 miliar ton, dan Sulawesi sebanyak 0.12 miliar ton.[2] Tidak dapat dipungkiri bahwa banyaknya kandungan batu bara di tanah Indonesia membawa beragam keuntungan, misalnya digunakan sebagai pembangkit listrik dan sumber perekonomian negera.  

Namun, di balik beragam keutungan yang didapatkan melalui industri batu bara, nyatanya terdapat pula bahaya yang mengintai. Unsur kimia yang terkandung di dalam batu bara menjadi sumber penyakit yang tidak lagi dapat disepelekan begitu saja, karena dapat berujung pada kematian. Berdasarkan hasil penelitian dari Harvard University bersama dengan Greenpeace Indonesia pada tahun 2015 lalu, ditemukan bahwa batu bara yang dibakar di PLTU-PLTU memancarkan sejumlah polutan yang membahayakan kehidupan manusia. Bahan bakar batu bara menyumbangkan setidaknya sebanyak 44% dari total CO2 di dunia.[3] Angka ini menunjukkan bahwa, selain polutan yang diakibatkan oleh asap kendaraan, uap dari batu bara pun mengambil andil yang cukup besar dalam mencemari udara yang setiap hari dihirup oleh manusia.

Tulisan ini akan mengulas kompleksitas yang ditimbulkan dalam percakapan tentang pemberhentian penggunaan batu bara. Untuk mencapai tujuan tersebut, tulisan ini akan berisi beberapa tahapan, yang pertama mengemukakan sejauh mana peran dan pengaruh baru bara sebagai sumber listrik dan perekonomian negara. Kedua, dampak yang ditimbulkan oleh penggunaan batu bara. Ketiga, bagaimana teologi Kristen merespons kondisi lingkungan yang diakibatkan oleh penggunaan batu bara, serta kompleksitas yang ada ketika berdiskusi mengenai dilema antara penggunaan dan penyetopan batu bara.

Batu Bara dan Sejumlah Manfaatnya

Batu bara sebagai bahan bakar memberikan banyak manfaat, salah satunya sebagai penyeimbang kombinasi energi dunia. Banyak negara yang mengandalkan batu bara sebagai sumber kebutuhan energi bagi negaranya. Umumnya, batu bara dipilih sebagai sumber energi sebab batu bara dapat dengan mudah disimpan dan dapat bertahan dalam waktu yang lama. Dengan mengandalkan batu bara sumber energi untuk berpuluh tahun kemudian dapat tersimpan dengan baik. Biaya produksi batu bara pun cederung lebih murah, dibandingkan bahan bakar fosil lainnya. Selain itu dengan mengandalkan batu bara, Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) tidak perlu bergantung pada keadaan cuaca, atau dengan kata lain dapat digunakan kapan saja.[4]    

Salah satu negara yang mengadalkan batu bara sebagai sumber energi adalah Indonesia. Pada tahun 2017 lalu, tercatat sebesar 461 juta ton batu bara diproduksi di Indonesia, dengan 83% diantaranya digunakan untuk keperluan listrik dan selebihnya untuk pengembangan industri-industri semen, tekstil, dan lain-lain. Selain untuk kepentingan dalam negeri (Domestic Market Obligation/DMO), Indonesia juga mengekspor batu bara ke beberapa negara lain, yakni China (51 juta ton), India (46 juta ton), dan Jepang (22 juta ton), dan selain ketiga negara ini masih terdapat 25 negara lain yang juga menjadi tujuan ekspor batu bara dari Indoensia.[5] Dengan angka tersebut, saat ini Indonesia telah menjadi negara nomor satu pengkespor batu bara di dunia.[6]

Batu bara dipilih sebagai salah satu sumber terbesar untuk listrik sebab harganya yang cederung murah. Berdasarkan data dari Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN yang dipublikasikan pada Februari 2019 yang lalu, kebutuhan batu bara sebagai sumber daya pembangkit listrik di Indonesia diperkirakan akan meningkat dari 90 juta ton menjadi 150-160 juta pada tahun 2028-2030. Kenaikan ini didorong oleh semakin meningkatnya permintaan konsumsi batu bara dari unit-unit produksi listrik yang ada di Indonesia.[7]

Saat ini, negara Indonesia memiliki kurang lebih 37 unit Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), dengan 61% bahan bakar yang digunakan ialah berasal dari batu bara.[8] Dengan jumlah persentase tersebut dapat disimpulkan bahwa sampai saat ini Indonesia masih menggunakan batu bara sebagai bahan bakar utama untuk mengasilkan tenaga listrik, bahkan dapat dikatakan juga bahwa sampai saat ini sumber listrik Indonesia masih sangat bergantung pada batu bara. 

 Selain sebagai sumber pembangkit tenaga listrik, batu bara juga menjadi salah satu sumber perekonomian penting bagi Indonesia. Indonesia, dengan kekayaan batu baranya, menduduki posisi pertama sebagai pengekspor batu bara, bukan hanya di antara negara-negara Asia, tetapi juga di dunia. Pendapatan dari ekspor batu bara ini menjadi salah satu sumber Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Selama 10 tahun terkahir, industri pertambangan menyumbangkan 5-8% bagi Produk Domestik Bruto (PDB)[9] Indonesia, dengan 80% di antaranya berasal dari industri batu bara.[10] Selain berkontribusi untuk PDB dalam skala nasional, batu bara pun cukup memberikan kontribusi pada PDB provinsi bagi provinsi-provinsi di Indonesia yang memiliki kandungan batu bara yang besar, misalnya seperti Kalimantan Timur.

Segudang Bahaya di Balik Sejumlah Manfaat Batu Bara

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, di balik sejumlah manfaat yang ditawarkan oleh batu bara, nyatanya masih terdapat berbagai dampak negatif bagi kehidupan manusia dan alam. Salah satu dampak yang tidak terhindarkan dari penggunaan batu bara sebagai bahan bakar adalah meningkatnya polusi udara yang dapat membahayakan kehidupan manusia dan alam.

Berdasarkan penelitian dari Greenpeace Indonesia dan Harvard University pada tahun 2015, partikel-partikel berbahaya yang dihasilkan oleh bahan bakar batu bara mengakibatkan kematian dini sekitar 6.500 jiwa per tahun di Indonesia dan diperkirakan akan terus meningkat menjadi 15.700 jiwa per tahun seiring semakin banyaknya pembangunan PLTU batu bara baru. Penyebab utama dari kematian dini tersebut adalah karena penyakit stroke (2.700 jiwa), jantung iskemik (2.300 jiwa), kanker paru-paru (300 jiwa), paru obstriktif kronik (400 jiwa), serta penyakit pernapasan dan kardovaskular lainnya (800 jiwa). Penyakit-penyakit ini menyerang semua kalangan, mulai dari anak-anak hingga orang dewasa. Beragam penyakit ini disebabkan karena paparan partikel halus beracun dari pembakaran batu bara.[11]

Greenpeace Indonesia menyebut PLTU batu bara sebagai mesin penebar maut.[12] Alasannya karena begitu banyak dampak yang diakibatkan oleh PLTU ketika menggunakan uap pembakaran batu bara sebagai sumber listrik. Dengan dampak mematikan tersebut, beberapa negara saat ini telah mengambil sikap untuk menghentikan penggunaan batu bara sebagai sumber energi. Salah satu negara tersebut adalah Amerika Serikat, yang telah menjadwalkan sebanyak 200 PLTU-nya untuk ditutup dan pada saat yang bersamaan sebanyak 82.5 gigawatt energi dari sumber batu bara pun dibatalkan. Penurunan penggunaan batu bara kini menurun sebanyak 76% dalam lima tahun terakhir.[13]

Uap dari pembakaran batu bara dapat mengakibatkan kematian sebab membuat masyarakat terpapar bahan beracun, ozon, dan logam berat. Dampak berat lain yang diakibatkan oleh pembakaran batu bara ialah terbentuknya hujan asam, perubahan iklim, dan tersebarnya partikel mikroskopik (PM2.5) yang terbentuk dari emisi NOx (nitrogen oksida) dan SO2 (sulfur oksida) di udara, yang menjadi sumber oksigen bagi manusia. Partikel halus atau PM2.5 ini menembus paru-paru dan aliran darah, menyebabkan berbagai masalah kesehatan, bahkan berujung pada kematian.[14] Tidak heran jika perkiraan angka kematian dini semakin meningkat dengan mengikuti produksi batu bara yang semakin meningkat pula.

Dampak yang sangat mengerikan ini paling banyak dirasakan oleh masyarakat yang tinggal di sekitar tambang batu bara. Sebuah film dokumenter berjudul “Sexy Killers” belakangan ini viral di plathform sosial media Youtube, yang berisi mengenai hasil penelitian terhadap dampak yang ditimbulkan oleh produksi batu bara terhadap masyarakat yang tinggal di sekitar lahan tambang batu bara di Kalimantan, secara khusus masyarakat di pinggiran kota Samarinda, Kalimantan Timur.

Film dokumenter yang berdurasi satu setengah jam tersebut menunjukkan berbagai dampak negatif yang diterima oleh warga di pinggiran kota Samarinda, Kalimantan Timur, yang telah bertahun-tahun hidup berdampingan dengan tambang batu bara.[15] Berikut saya paparkan berbagai dampak yang diakibatkan oleh penggalian lahan tambang batu bara yang berada di sekitar pemukiman masyarakat, berdasarkan film dokumenter “Sexy Killers”. Pertama, ketersediaan air bersih menjadi hal yang begitu didambakan. Jangankan untuk diminum setiap hari, air untuk mengairi pertanian dan mandi pun sangat susah untuk diperoleh. Tambang batu bara yang menjadi tetangga mereka selama ini mengakibatkan air yang diambil dari sumur membawa serta endapan lumpur, sehingga berwarna keruh dan tidak jernih.

Selain ketersediaaan air bersih, warga sekitar juga berhadapan dengan menurunnya hasil pertanian karena rusaknya komposisi tanah akibat lumpur dari tambang batu bara. Dampak lain yang juga memilukan ialah meningkatnya angka kematian dini, karena anak-anak yang jatuh ke dalam lubang bekas tambang yang tidak direklamasi atau ditimbun kembali. Antara tahun 2011-2018, secara khusus di Provinsi Kalimantan Timur, tercatat sebanyak 32 orang meninggal karena jatuh ke dalam lubang bekas tambang yang tidak direklamasi dan secara nasional, antara tahun 2014-2018 jumlah yang tewas mencapai 115 jiwa. Angka ini belum mencakup kematian yang diakibatkan oleh tercemarnya udara dengan partikel-partikel kimia yang berbahaya bagi tubuh. Truk yang hilir mudik melalui jalanan umum dan pemukiman warga untuk membawa batu bara semakin memperparah kodisi udara bagi masyarakat di sekitar tambang batu bara. Belum lagi ditambah dengan realitas bahwa kapal-kapal besar yang mengangkut batu bara melewati laut dan merusak ekosistem yang ada di laut. Kondisi ini semakin diperparah dengan sikap pemerintah daerah setempat dan perusahaan tambang batu bara yang tidak peduli terhadap realitas kerusakan alam. Akibatnya, seperti yang telah diduga, masyarakat sekitar menanggung kerugian yang sangat besar. Bahkan, orang-orang yang tinggal jauh dari lokasi penambangan pun turut mengalami kerugian karena polusi udara. Menurut saya, kondisi ini tidak dapat lagi dijadikan alasan untuk mempertahankan tambang batu bara.

Pandangan Etika Kristen terhadap Penggunaan Batu Bara dan Upaya Meminimalisir Penggunaan Batu Bara

Undang-Undang Republik Indonesia no. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolan Lingkungan Hidup, pasal 1, ayat 14, mendefinisikan pencemaran lingkungan hidup sebagai masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia, sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan. Dengan kata lain, kegiatan atau pekerjaan yang dilakukan dan mengakibatkan menurunnya mutu alam, telah dikategorikan sebagai pencemaran lingkungan hidup. 

Batu bara dan beragam dampak yang ditumbulkan menjadi salah bentuk pencemaran lingkungan hidup atau krisis ekologi. Dalam kaitannya dengan dunia teologi, etika Kristen merupakan salah diskursus yang paling banyak memperbincangkan persoalan ekologi, misalnya pencemaran atau krisis lingkungan hidup. Fokus terhadap etika lingkungan hidup mulai berkembang pada tahun 1970-an. Perkembangan ini didorong oleh isu-isu sosial yang terjadi, secara khusus pembangunan ekonomi melalui bisnis-bisnis industri yang mulai berkembang.[16]

Robert P. Borrong menuliskan setidaknya terdapat tiga model etika Kristen untuk merespons krisis ekologi yang ditinjau dari Alkitab.[17] Pertama, model etika pelayanan. Model etika pelayanan ialah mengarah pada kesadaran manusia untuk memahami tugas dan fungsinya yakni untuk mengelola, memanfaatkan, dan memelihara alam. Dalam model etika ini, manusia dituntut untuk mampu mengendalikan diri agar tidak sewenang-wenang memperlakukan alam. Kedua, model etika solidaritas. Dalam etika solidaritas manusia berkewajiban untuk memelihara alam, sebab manusia adalah bagian dari alam, dan keduanya adalah sesama ciptaan. Dengan kata lain, manusia dituntut untuk membangun relasi yang berbentuk kerjasama dengan alam. Ketiga, model etika damai sejahatera. Etika damai sejahtera mendasari konsep beretika pada kasih. Kasih menjadi landasan agar manusia dapat membebaskan alam dan menggantinya dengan kehidupan yang damai bagi manusia dan alam. Satu kesimpulan yang dapat ditarik dari tiga model etika ini adalah bagimana manusia mampu mengelola sumber daya yang tersedia di alam, dan tetap memelihara dan menghadirkan damai sejahtera, tidak hanya bagi manusia tetapi juga bagi alam.

Dengan berdasar pada tiga model etika Kristen di atas, maka kekristenan melalui diskursus etika Kristen, sama sekali tidak menyetujui dan menolak segala bentuk tindakan yang mencemari atau merusak alam, dalam hal ini termasuk juga produksi dan penggunaan batu bara. Meski memberikan segudang manfaat, namun rusaknya alam dan menurunnya kesehatan umat manusia bahkan sampai menyebabkan kematian menjadi sebuah keniscayaan yang tidak terhindarkan ketika produksi dan penggunaan batu bara masih terus dilanjutkan. Dengan kata lain, produksi dan penggunaan batu bara sama sekali tidak dapat dibenarkan, meskipun melaluinya manusia memperoleh segunang manfaat untuk mengupayakan kehidupan.

Meski memiliki dampak yang sangat besar bagi manusia dan alam, namun tidak dapat dipungkiri bahwa pembahasan mengenai krisis ekologi yang diakibatkan oleh produksi batu bara ini sangat jarang dijumpai. Umumnya ketika berbicara mengenai krisis ekologi maka selalu merujuk pada penebangan pohon, pemakaian plastik sekali pakai, limbah pabrik, dan lain sebagainya. Entah memang tidak disadari atau sengaja untuk tidak menyadari, harus diakui bahwa dampak yang diakibatkan oleh produksi batu bara ini tidak kalah mengerikan daripada model pencemaran lingkungan yang lain.

Berbagai kemungkinan menurut saya dapat dikemukakan terkait mengapa isu krisis lingkungan akibat produksi batu bara ini jarang sekali diangkat. Misalnya, batu bara menjadi sumber energi untuk menghasilkan salah satu kebutuhan manusia, yakni listrik. Dengan kata lain, secara tidak langsung, sebagian besar rakyat Indonesia menggantungkan hidup pada batu bara sebagai sumber energi. Selain itu, ketika berbicara mengenai perusahaan-perusahaan yang mengerjakan penggalian di tambang batu bara maka akan tali-menali dengan kepentingan tokoh-tokoh politik dan atau pemerintah untuk meraup keuntungan melalui penjualan batu bara. Karenanya, diskusi mengenai batu bara menjadi sangat kompleks, sebab tidak hanya terkait dengan masalah ekologi dan kesehatan masyarakat, tetapi juga terkait dengan kepentingan politik dan perihal ekonomi serta pendapatan negara. Melihat kompleksitas ini, maka diskusi mengenai tindakan etis seperti apa yang harus diambil tidak dapat hanya berlangsung antara dua sisi: boleh atau tidak, namun lebih daripada itu terdapat berbagai hal lain yang juga perlu untuk dipertimbangkan.       

Beberapa organitation non goverman (ONG), seperti Greenpeace Indonesia, telah mulai mengupayakan penghentian produksi dan penggunaan batu bara di indonesia. Upaya yang ingin dicapai ialah menurunkan bahkan menghentikan sama sekali penggunaan batu bara. Namun tentu saja penurunan atau bahkan penghentian produksi dan penggunaan batu bara bukan pekara sederhana. Posisi batu bara sebagai sumber energi dan salah satu sumber pendapatan negara berimbas pada sulitnya pemberhentian produksi batu bara. Indonesia secara tidak langsung siap dengan kemungkinan untuk kehilangan sumber energi dan salah satu sumber pendapatan negara. Belum lagi berhadapan dengan beberapa petinggi politik yang memiliki saham batu bara dan memberikan keuntungan yang cukup besar bagi negara.

Beberapa pihak telah menyadari bahaya kerusakan ekologi akibat penggunaan batu bara sebagai sumber energi. Jalan yang kemudian diambil ialah mulai dengan meminimalisir penggunaan arus listrik. Sejak 12 tahun belakangan, sebuah gerakan mulai dilakukan untuk meminimalisir penggunaan listrik, yang diberi nama earth hour. Sebanyak 180 negara, termasuk Indonesia, telah berpartisipasi dalam gerakan yang dimulai pada tahun 2007 ini. Earth hour merupakan aksi serentak yang digagas oleh World Wide Fund for Nature (WWF) untuk mematikan lampu dan semua perabot yang menggunakan tenaga listrik selama 1 jam dalam satu hari (pukul 20.30-21.30 waktu setempat), di setiap akhir bulan Maret.[18] Tahun 2019 lalu, di Indonesia aksi earth hour dilaksanakan pada 30 Maret dan telah diikuti oleh 33 kota di Indonesia.

Penutup: Kesimpulan dan Saran

  Merespons kompleksitas yang terjadi di sekitar diskusi produksi dan penggunaan batu bara ini, menurut saya kemungkinan yang dimiliki sangat kecil untuk menghentikan sama sekali penggunaan batu bara. Karenanya hal yang dapat dilakukan sebagai bentuk keprihatinan terhadap bumi adalah dengan meminimalisir penggunaan batu bara. Untuk itu, saya menyarankan beberapa hal yang dapat dilakukan, secara khusus oleh gereja, dalam merespons masalah ini ialah dengan meminimalisir penggunaan tenaga listrik untuk kegiatan-kegiatan gereja.

Pengoptimalan terhadap gerakan earth hour menurut saya dapat membawa angin sejuk yang cukup membantu dalam kepelikan masalah ini. Masalahnya kemudian ialah tidak semua daerah bahkan secara khusus tidak semua gereja, menyadari kondisi bumi yang semakin rusak akibat produksi dan penggunaan batu bara. Tidak hanya itu, gerakan earth hour ini pun belum sampai pada daerah-daerah yang lain, sehingga tidak semua dearah (dan gereja) melakukan semangat yang sama melalui gerakan earth hour. Karenanya, menurut saya yang perlu untuk dilakukan ialah mengoptimalkan gerakan earth hour, melalui sosialisasi yang lebih luas kepada daerah-daerah terkait bahaya penggunaan batu bara. Bila perlu pembatasan arus listrik dilakukan melalui PLTU-PLTU, sehingga secara teratur dapat terus dilakukan di setiap akhir bulan Maret selama 1 jam. Jika gerakan earth hour ini dapat terus dimaksimalkan, maka bukan tidak mungkin bisa meningkat lebih satu jam, bahkan mungkin juga dapat dilakukan beberapa kali dalam satu tahun. Selain itu, terkait dengan sosialisasi bahaya penggunaan batu bara dapat digunakan sebagai cara untuk meminimalisir adanya protes yang datang dari masyarakat karena pembatasan arus listrik.  

Gereja dapat bekerjasama dengan pemerintah-pemerintah daerah untuk mengembangkan sumber tenaga listrik dari hal yang lain, seperti air, angin, ataupun matahari. Cara ini juga dapat digunakan untuk meminimalisir penggunaan batu bara sebaga sumber energi, sekaligus juga dapat menjadi media pemberdayaan masyarakat dan warga jemaat yang memiliki kemampuan untuk mengerjakan sumber arus listrik tersebut, untuk kepentingan bersama. Hal-hal seperti inilah yang menurut saya dapat dilakukan gereja sebagai bentuk nyata upaya pembebasan diri dari penggunaan batu bara.  


[1] Bappenas, “Laporan Akhir: Kajian Ketercapaian Target DMO Batu Bara Sebesar 60% Produksi Nasional pada Tahun 2019” (Jakarta: Direktorat Sumber Daya Energi, Mineral, dan Pertambangan Bappenas, 2019), 27.

[2] “Cadangan Batubara Indonesia Sebesar 26 Miliar Ton,” ESDM, diakses 6 Desember 2019, https://www.esdm.go.id/id/media-center/arsip-berita/cadangan-batubara-indonesia-sebesar-26-miliar-ton.

[3] Greenpeace, “Kita, Batu Bara, & Polusi Udara: Riset Dampak PLTU Batu Bara oleh Tim Peneliti Universitas Harvard – Atmospheric Chemistry Modeling Group (ACMG) dan Greenpeace Indonesia” (Greenpeace Indonesia, 2015), 2.

[4] World Coal Institute, “Sumber Daya Batu Bara: Tinjauan Lengkap Mengenai Batu Bara” (World Coal Institute, 2004), 18.

[5] “Cadangan Batubara Indonesia Sebesar 26 Miliar Ton.”

[6] Greenpeace, “Kita, Batu Bara, & Polusi Udara: Riset Dampak PLTU Batu Bara oleh Tim Peneliti Universitas Harvard – Atmospheric Chemistry Modeling Group (ACMG) dan Greenpeace Indonesia,” 2.

[7] Deon Arinaldo dan Julius Christian Adiatma, Dinamika Batu Bara di Indonesia: Menuju Transisi Energi yang Adil (Jakarta: Institute for Essential Services Reform (IESR), 2019), 3.

[8] Donald Banjarnahor, “Dari 58 Ribu MW, 61% Pembangkit Listrik RI Masih Batu Bara,” news, https://www.cnbcindonesia.com/news/20190923114710-4-101382/dari-58-ribu-mw-61-pembangkit-listrik-ri-masih-batu-bara (diakses 7 Desember 2019).

[9] Produk Domestik Bruto (PDB) merupakan nilai pasar danatau jumlah produksi dari semua barang yang diproduksi oleh satu negara atau daerah dalam satu periode tertentu. PDB dapat menjadi alat ukur untuk menghitung pertumbuhan ekonomi satu negara atau daerah tertentu.

[10] Arinaldo dan Adiatma, Dinamika Batu Bara di Indonesia: Menuju Transisi Energi yang Adil, 5.

[11] Greenpeace, “Kita, Batu Bara, & Polusi Udara: Riset Dampak PLTU Batu Bara oleh Tim Peneliti Universitas Harvard – Atmospheric Chemistry Modeling Group (ACMG) dan Greenpeace Indonesia,” 3.

[12] Greenpeace, 3.

[13] Greenpeace, 4.

[14] Greenpeace, 8.

[15] “(74) SEXY KILLERS (Full Movie) – YouTube,” https://www.youtube.com/watch?v=qlB7vg4I-To&t=389s (diakses 7 Desember 2019).

[16] Robert Borrong, Etika Bumi Baru (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999), 138.

[17] Borrong, 160–73.

[18] Elise Dwi Ratnasari, “Earth Hour, Aksi Serentak ‘Satu Jam’ Demi Lindungi Bumi,” gaya hidup, https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20180323192014-282-285478/earth-hour-aksi-serentak-satu-jam-demi-lindungi-bumi (diakses 8 Desember 2019).

Stay Update with Us!