Abstrak
Kawula muda kerap tidak mendapat pendidikan iman yang memadai di dalam gereja. Studi yang dilakukan oleh Karen B. Tye menunjukkan kegagalan gereja-gereja dalam menjalankan program pendidikan di lingkungan jemaat yang berdampak pada keengganan para pemuda berpartisipasi dalam gereja. Untuk itu, gereja perlu merenungkan dan merumuskan prinsip-prinsip pendidikan iman yang menyenangkan bagi kawula muda sehingga mereka tidak meninggalkan persekutuan orang percaya di dalam gereja. Dalam menyikapi pergumulan tersebut, menurut hemat saya, teori perkembangan iman James Fowler dan filsafat eksistensialisme dapat memberikan landasan pendidikan iman yang menyenangkan bagi kawula muda. Teori Fowler menguraikan perjalanan iman manusia, termasuk kawula muda, dan masalah yang dihadapi para pemuda tersebut koheren dengan filsafat pendidikan eksistensialisme yang menitikberatkan pencarian eksistensi diri manusia.
Kata kunci: pendidikan iman, kawula muda, James Fowler, filsafat pendidikan eksistensialisme, lima tugas gereja
Pendidikan Iman yang Bermasalah
Sebuah Catatan Pengantar
Apa itu pendidikan iman yang menyenangkan bagi kawula muda? Karen B. Tye dalam bukunya Basics of Christian Education menjelaskan empat pemahaman tentang pendidikan kristiani (PK). Pertama, pendidikan kristiani sebagai instruksi religius. Pemahaman tersebut menekankan usaha gereja mewariskan pengetahuan dan praktik iman Kristen secara sengaja dan berkesinambungan. Kedua, pendidikan kristiani sebagai proses sosialisasi. Pemahaman tersebut menekankan cara seseorang menjadi bagian dalam sebuah komunitas tertentu sehingga ia memperoleh identitas dari komunitas tersebut berupa keyakinan, kebiasaan, dan perilaku. Ketiga, pendidikan kristiani sebagai pendekatan perkembangan pribadi. Pemahaman tersebut menekankan kebutuhan sebuah lingkungan yang mendewasakan semua orang pada setiap tahap perkembangan. Keempat, pendidikan kristiani sebagai proses pembebasan. Pemahaman tersebut menekankan transformasi kesadaran orang Kristen untuk peka terhadap konteksnya (Tye 2000, 10—2). Dari empat pemahaman tersebut, pendidikan iman—tentu dalam bingkai pendidikan kristiani—yang menyenangkan bagi kawula muda adalah usaha gereja mewariskan iman Kristen kepada para pemuda dengan memperhatikan konteks perkembangan mereka sehingga mereka tetap menjadi bagian gereja.
Pendidikan iman yang menyenangkan bagi kawula muda merupakan gagasan yang saya tawarkan kepada semua orang yang peduli pendidikan kristiani, terutama proses pewarisan iman Kristen, dengan berangkat dari kondisi pendidikan iman di gereja-gereja dewasa ini. Tye memaparkan beberapa permasalahan yang dihadapi Gereja mengenai pendidikan iman. Masalah yang bersentuhan langsung dengan makalah ini adalah kegagalan jemaat untuk menjaga keikutsertaan anak-anak muda dalam kegiatan di gereja ketika menginjak usia remaja madya (15—18 tahun). Masalah lain adalah kegagalan program pendidikan yang dilakukan oleh gereja-gereja sehingga membuat kawula muda enggan mengikuti kegiatan gereja. Dapat kita lihat bahwa permasalahan pendidikan iman saling berkaitan dengan berbagai masalah lainnya di bidang pendidikan kristiani (Tye 2000, 1—2).
Gereja tidak boleh mengabaikan keengganan kawula muda untuk berpartisipasi dalam kegiatan gereja. Pendidikan iman yang dilakukan oleh gereja dapat terjadi dalam berbagai kegiatan yang dilakukan gereja. Akan tetapi, bagaimana cara gereja mendidik kawula muda dalam berbagai kegiatan yang dilaksanakan jikalau mereka tidak hadir? Stefanus Theopilus mengatakan bahwa gereja adalah kumpulan persekutuan khusus yang membentuk kesatuan. Artinya, dalam sebuah gereja terbentuk persekutuan yang mungkin berdasarkan umur, profesi, hobi tertentu, dll. Kepelbagaian inilah yang membuktikan bahwa kawula muda adalah bagian gereja (Theopilus 2012, 18—9). Berangkat dari pemahaman tersebut, adalah sebuah bencana bilamana kawula muda kehilangan gairah dalam mengikuti kegiatan di gereja sehingga pendidikan iman kepada mereka menjadi terhambat.
Makalah ini akan menyoroti prinsip-prinsip yang dapat kita gunakan dalam pendidikan iman bagi kawula muda. Pertama, kita akan melihat landasan psikologis pendidikan iman yang menyenangkan bagi kawula muda. Landasan psikologis yang saya gunakan adalah teori perkembangan iman James Fowler. Setelah kita melihat landasan psikologisnya, kita akan melihat landasan filosofis pendidikan iman yang menyenangkan bagi kawula muda. Landasan filosofis yang saya gunakan adalah filsafat eksistensialisme. Sebelum masuk ke dalam konstruksi gagasan saya, saya akan menjelaskan lima tugas gereja sebagai tempat pendidikan iman yang menyenangkan bagi kawula muda terjadi. Dengan dua landasan tersebut, saya menawarkan gagasan pendidikan iman yang menyenangkan bagi kawula muda di dalam lima tugas mendidik gereja tersebut.
Landasan Psikologis: Teori Perkembangan Iman James Fowler
Ronald F. Gray mengatakan bahwa tujuan dari psikologi adalah mengamati, memahami, dan memengaruhi perilaku. Setiap pribadi pasti mempunyai kebutuhan psikologis tertentu. Contohnya, merasa dicintai, menjadi bagian dalam sebuah komunitas, dll. Kondisi psikologis tersebut membuat pendidikan iman membutuhkan landasan psikologis. Landasan psikologis dapat membantu pendidikan iman untuk membantu orang-orang sesuai kebutuhan psikologis mereka (Gray 1978, 113—4).
Saya menggunakan teori perkembangan iman menurut James Fowler sebagai landasan psikologis pendidikan iman yang menyenangkan bagi kawula muda. Fowler melakukan wawancara semi-klinis dengan banyak responden. Hasil analisisnya memperlihatkan tujuh tahap perkembangan iman manusia. Dengan adanya tahap-tahap tersebut, proses perkembangan dan transformasi pola penghayatan iman dapat dijelaskan. Meskipun mendapat tujuh tahap, Fowler kerap menyebut hanya enam tahap karena tahap 0 (antara 0—3 tahun) sering dianggap pratahap dan kurangnya penyelidikan di tahap tersebut (Supratiknya 1995, 26—7). Saya akan menjelaskan secara singkat tahapan perkembangan iman menurut James Fowler. Kawula muda yang saya maksudkan berada dalam tahap 3.
Pertama, tahap 0 atau kepercayaan elementer awal (Primal Faith) yang terjadi pada rentang 0—3 tahun dan kadang disebut tahap kepercayaan yang belum terdiferensiasi (Undifferentiated Faith). Di tahap ini, manusia mempunyai iman yang sederhana dan pra-gambaran bahwa lingkungan yang menerimanya boleh dipercaya. Kedua, tahap 1 atau kepercayaan intuitif-proyektif (Intuitive-Projective Faith) yang terjadi pada rentang 3—7 tahun. Di tahap ini, manusia mempunyai iman yang ditentukan dengan penggambaran orang lain mengenai Yang Ilahi (Supratiknya 1995, 27—9). Ketiga, tahap 2 atau kepercayaan mitis-harafiah (Mythic-Literal) yang terjadi pada rentang 7—12 tahun. Di tahap ini, manusia mempunyai iman yang melihat Tuhan sebagai sesuatu yang pasti di dalam dunia yang tidak pasti sehingga kegiatan keagamaan memberi rasa aman (Shelton 1987, 56—7).
Keempat, tahap 3 atau kepercayaan sintetis-konvensional (Synthetic-Conventional) yang berlangsung pada rentang 12—18 tahun, tetapi seseorang dapat berada dalam tahap tersebut hingga pertengahan atau akhir masa dewasa mereka. Di tahap ini, manusia akan melihat segala sesuatu secara interpersonal, antara saya dan Anda. Manusia mulai mengintegrasikan berbagai gambaran diri menjadi satu identitas koheren. Topik yang sedang oleh manusia di tahap ini (kawula muda) adalah identitas, baik identitas diri sendiri maupun orang lain (Supratiknya1995, 30—1). Akan tetapi, manusia di tahap ini tidak dapat melihat perspektif di luar nilai-nilai dan informasi yang mereka dapat. Mereka tidak dapat merefleksikan dan menguji berbagai gambaran diri secara eksplisit dan sistematis (Kang dan Bondy 2007, 126—7).
Kelima, tahap 4 atau kepercayaan individuatif-reflektif (Individuative-Reflective) yang terjadi pada rentang 20-an tahun ke atas. Di tahap ini, iman menjadi semakin personal sehingga manusia menginginkan agar iman tersebut diungkapkan secara logis. Manusia menjadi terbuka dengan berbagai kemungkinan di masa depan. Manusia di tahap ini tertantang untuk merenungkan secara kritis makna hidup mereka. Apabila seseorang mampu melewati tahap ini dengan baik, imannya akan menjadi personal dan bermakna (Shelton 1987, 60).
Keenam, tahap 5 atau kepercayaan eksistensial-konjungtif (Conjunctive Faith) yang terjadi peda rentang 30 tahun ke atas. Manusia pada tahap ini akan menguraikan kembali iman yang telah dipegangnya seturut dengan bertambahnya pengalaman akan penderitaan, kehilangan, dan ketidakadilan. Ketujuh, tahap 6 atau kepercayaan eksistensial yang mengacu pada universalitas (Universalizing Faith) yang terjadi pada rentang 45 tahun ke atas. Tidak banyak orang yang mencapai tahap tersebut. Manusia pada tahap ini mempunyai gairah yang besar dalam cinta dan keadilan. Mereka tidak lagi memikirkan diri mereka sendiri, melainkan orang lain (Shelton 1987, 60—1).
Landasan Filosofis: Filsafat Eksistensialisme
Dari berbagai filsafat pendidikan yang ada, Pazmino mengatakan bahwa terdapat tiga fokus dalam setiap aliran filsafat tersebut. Ketiga fokus tersebut adalah pribadi (persons), komunitas (communities/societies), dan konten (content). Dengan adanya tiga fokus tersebut, kita tertantang untuk memilih fokus tertentu tanpa mengabaikan fokus yang lain. Tiga fokus tersebut diambil dari tujuh aliran filsafat pendidikan (Pazmino 2008, 124—5). Dalam makalah ini, saya menggunakan aliran filsafat pendidikan eksistensialisme sebagai landasan filosofis pendidikan iman yang menyenangkan bagi kawula muda karena prinsip eksistensialisme koheren dengan perkembagan iman kawula muda yang berusia 12—18 tahun (tahap 3).
Eksistensialisme adalah aliran filsafat yang muncul pada awal abad ke-18 dan berasal dari filsuf Denmark Søren Kierkegaard (18131855). Eksistensialisme adalah aliran filsafat yang menekankan individualitas manusia. Kebenaran harus ditemukan oleh masing-masing orang. Realitas dan nilai pun ditentukan oleh pribadi yang bersangkutan karena kedua hal itu akan berbeda-beda di tiap orang (Anthony dan Benson 2003, 402).
Dalam filsafat pendidikan, eksistensialisme menekankan pencarian batin akan makna eksistensi diri sendiri dalam realisasi kepribadian yang otentik. Konten pendidikan eksistensialis adalah kondisi manusia dengan aktivitas belajar yang bebas dari paksaan rasional. Guru dilihat sebagai sesama teman yang mencari makna eksistensi diri sendiri. Pengaturan ideal untuk pembelajaran yang mendalam dari filsafat eksistensialisme seharusnya mengizinkan perjumpaan personal yang mengeksplorasi dunia batin (Pazmino 2008, 1223).
Para pendidik yang eksistensialis tidak akan mengharuskan sebuah bentuk kurikulum karena bertentangan dengan prinsip menemukan makna eksistensi seseorang. Kebanyakan bentuk pendidikan tradisional kekristenan ditentang oleh para penganut eksistensialisme karena dianggap memaksa dan manipulatif. Kebebasan sangat dijunjung tinggi sehingga program pendidikan yang disusun tidak memaksa orang-orang untuk hadir, melainkan dipersiapkan kepada semua orang yang mau hadir (Anthony dan Benson 2003, 403—4).
Pokok-pokok Pemikiran Robert Pazmino tentang Lima Tugas Gereja.
Pazmino mengatakan bahwa terdapat lima tugas gereja: proklamasi/kerygma, komunitas/koinonia, pelayanan/diakonia¸ advokasi/propheteia, dan peribadahan-/leitourgia. Kelima tugas tersebut membentuk sebuah jaringan yang saling berhu-bungan sebagai tempat berlangsungnya pendidikan. Dalam setiap jaringan tersebut, seorang pendidik dapat melakukan pendidikan iman yang menyenangkan bagi kawula muda (Pazmino 1992, 45—7).
Pertama, proklamasi/kerygma. Proklamasi adalah tugas gereja membagikan kisah-kisah kekristenan dan menyanggupkan orang lain untuk menghubungkan cerita tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Dengan proklamasi, gereja bertujuan agar orang-orang merespons panggilan Allah dalam hidup mereka. Salah satu contoh proklamasi/kerygma adalah Sekolah Minggu yang menceritakan kisah-kisah Yesus. Akan tetapi, kisah Alkitab yang diceritakan perlu dihubungkan dengan realitas modern. Tugas PK adalah menyanggupkan seseorang untuk menghadapi panggilan Allah lalu berkomitmen untuk hidup sesuai kehendak Tuhan (Pazmino 1992, 47—8). Pendidikan kristiani dalam tugas proklamasi/kerygma sejajar dengan konsep PK sebagai instruksi religius yang ditawarkan oleh Karen Tye.
Kedua, komunitas/koinonia. Tugas gereja dalam komunitas/koinonia adalah membongkar semua sekat-sekat pembatas manusia sehingga di dalamnya tidak ada lagi pembedaan. Kristus telah menghapus pembedaan antarmanusia sehingga gereja tidak lagi membedakan orang-orang berdasarkan hal tertentu. Tugas PK dalam bingkai komunitas/koinonia adalah membantu perasaan saling ketergantungan antara komunitas dan Tuhan, sesama komunitas, sesama manusia, dan seluruh ciptaan Allah (Pazmino 1992, 48—50).
Ketiga, pelayanan/diakonia. Tugas gereja dalam pelayanan/diakonia adalah peduli dan memperhatikan keseluruhan umat Allah dalam kebutuhan individual maupun komunal. Panggilan untuk melayani tersebut tidak terbatas pada para pelayan tertahbis, tetapi keseluruhan umat Allah. Tugas PK dalam bingkai pelayanan/diakonia adalah membantu menghubungkan iman dengan tindakan melayani. Orang Kristen perlu menyadari bahwa pengetahuan akan iman Kristen berarti kerelaan untuk melayani semua orang tanpa terkecuali sesuai kapasitas masing-masing individu (Pazmino 1992, 50—2).
Keempat, advokasi/propheteia. Tugas gereja dalam advokasi/propheteia adalah membela kebutuhan mereka yang tidak mempunyai pembela atau mereka yang terdiskriminasi. Tugas PK dalam bingkai advokasi/propheteia adalah membuat umat memahami kehadiran kerajaan Allah berkaitan dengan kondisi sosial masyarakat. Orang Kristen harus peka terhadap kondisi sosial dan budaya di sekitarnya serta selalu siap mentransformasi lingkungan apabila hal-hal yang tidak sesuai dengan nilai-nilai kristiani terjadi. Tugas advokasi/propheteia memang berisiko, tetapi orang Kristen dipanggil untuk menjalankan tugas kenabian pelayanan pendamaian dengan mengabaikan risiko yang ada (Pazmino 1992, 52—3).
Kelima, peribadahan/leitourgia. Tugas gereja dalam peribadahan/leitourgia adalah merayakan karya Allah dalam ibadah dan mengekspresikan kreativitas yang mengagungkan Allah. Peribadahan/leitourgia di sini tidak hanya merujuk pada ritual tertentu, tetapi juga ekspresi sepanjang hidup manusia. Tugas PK dalam bingkai peribadahan/leitourgia adalah membantu menumbuhkan perasaan beribadah yang mencakup keseluruhan hidup dan mengeksplorasi berbagai ekspresi kreatif untuk memuji Allah. Program PK yang memberi partisipan kesempatan untuk mengekspresikan kreativitasnya dapat memelihara perasaan beribadahnya dan menyediakan kesempatan untuk beribadah (Pazmino 1992, 53—5).
Pendidikan Iman yang Menyenangkan bagi Kawula Muda: Sebuah Proposal bagi Gereja-gereja di Indonesia
Dari dua landasan di atas yang diterapkan dalam lima tugas gereja menurut Pazmino, saya mengajukan beberapa tawaran bagi pendidikan iman bagi gereja-gereja di Indonesia sebagai berikut. Pertama, ranah proklamasi/kerygma. Kawula muda yang berada dalam tahap 3 perlu mendengarkan kisah-kisah Alkitab yang memberikan mereka identitas sebagai seorang Kristen di konteks masa kini. Ketidakmampuan untuk merangkai berbagai informasi tentang identitas diri dapat membuat proses sharing faith melalui pemberitaan gereja tidak efektif dan malah membuat pemuda kebingungan. Gereja perlu menyusun pemberitaan Firman dalam persekutuan kawula muda dapat memberikan mereka identitas. Pemberitaan Firman yang memberikan identitas mesti sistematis sehingga menolong mereka untuk beralih ke tahap perkembangan selanjutnya. Pendekatan personal sangat berperan penting karena mereka cenderung interpersonal. Gereja dapat membuat kelompok kecil dengan satu mentor yang akan membimbing para kawula muda mengintegrasikan berita Alkitab dengan kehidupan di masa kini. Para mentor tersebut adalah mereka yang mempunyai dedikasi, integritas, dan kapabilitas mendampingi para kawula muda dan telah diarahkan oleh gereja terlebih dahulu. Perlu dicatat, bimbingan tersebut tidak seragam kepada semua kawula muda
Kedua, ranah komunitas/koinonia. Para kawula muda yang mengalami krisis identitas pasti akan kebingungan melihat gereja yang heterogen. Bahkan gereja suku sekalipun tetap terdiri atas jemaat yang mempunyai beragam profesi, lingkungan tempat tinggal, tingkat pendidikan, dll. Dengan mempertimbangkan hal tersebut, gereja perlu menyusun program yang menunjukkan keberagaman seraya menunjukkan kesatuan iman. Program tersebut haruslah menarik perhatian kawula muda tanpa memaksa mereka untuk mengikutinya. Tujuan dari program-program dalam ranah ini adalah kawula muda mendapatkan identitasnya sebagai seorang pemuda Kristen di tengah komunitas gereja.
Ketiga, ranah pelayanan/diakonia. Para kawula muda senang dengan informasi personal, apalagi itu menyangkut identitas diri. Untuk itu, gereja perlu membuat program yang membuat pemuda terhubung dengan banyak orang dalam gereja tersebut. Pertemuan tersebut dapat menjadi sarana bagi para kawula muda belajar dari orang-orang yang telah melalui tahap yang sedang mereka hadapi. Semangat melayani mereka juga lebih kuat karena mereka mendapat hal yang mereka resahkan, identitas diri, dari orang yang dilayani.
Keempat, ranah advokasi/propheteia. Menurut hemat saya, ranah tersebut berkaitan dengan pelayanan/diakonia, namun arah pelayanannya lebih spesifik untuk orang-orang yang terpinggirkan. Mereka dapat memosisikan diri mereka secara personal dengan mereka yang terpinggirkan. Program advokasi yang melibatkan anak muda dapat membantu mereka menemukan makna kehadiran manusia masa kini di tengah realitas yang tidak adil. Pengalaman tersebut dapat memperkaya informasi identitas diri mereka dan apabila dikaitkan dengan program dalam ranah proklamasi/kerygma, gereja dapat membantu kawula muda dewasa dalam tahap 3.
Kelima, ranah peribadahan/leitourgia. Banyak gereja yang mengadopsi model peribadahan karismatik bagi kawula muda. Hal itu tidaklah keliru apabila diimbangi dengan kesadaran bahwa tidak semua kawula muda cocok dengan model peribadahan tersebut. Gereja perlu mendorong kawula muda untuk mengeksplorasi kreativitas mereka sehingga peribadahan jemaat dapat lebih bergairah.